PROPOSAL
PENGARUH
PEMUPUKAN FOSFAT TERHADAP PRODUKTIVITAS
TANAH
INCEPTISOL DAN ULTISOL

OLEH:
YOHANES THEODORUS BRIA
2016330091
PROGRAM
STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2019
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG…………………………………………………………
TUJUAN……………………………………………………………………….
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.PUPUK FOSFAT…………………………………………………………
2.2.TANAH……………………………………………………………………
2.3.TANAH INCEPTISOL…………………………………………………..
2.4.TANAH ULTISOL……………………………………………………….
BAB III METODE PENELITIAN
TEMPAT DAN WAKTU……………………………………………………
BAHAN DAN ALAT…………………………………………………………
METODE PENELITIAN……………………………………………………
PELAKSANAAN PENELITIAN…………………………………………..
ANALISIS DATA……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.LATAR
BELAKANG
Hara P merupakan hara makro kedua
setelah N yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang cukup banyak.
Ketersediaan P dalam tanah ditentukan oleh bahan induk tanah serta faktorfaktor
yang mempengaruhi ketersediaan hara P
seperti
reaksi tanah (pH), kadar Al dan Fe oksida, kadar Ca, kadar bahan organik,
tekstur dan pengelolaan lahan. Penerapan konservasi tanah juga mempengaruhi
dinamikanya dalam tanah sehingga penting mendapat perhatian dalam
pengelolaan
hara P. Pengembangan lahan pertanian lebih diarahkan ke luar Jawa. Luas lahan
kering di Indonesia sekitar 148 juta ha yang terdiri atas 102.8 juta ha lahan
masam dan tanah tidak masam seluas 45.3 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002).
Lahan kering di luar Jawa didominasi
oleh tanah Ultisols dan Oxisols. Kedua tanah tersebut telah mengalami pelapukan
lanjut, basa-basanya tercuci sehingga tanah menjadi masam dengan kadar Al, Fe
dan Mn oksida tinggi yang dapat meracuni tanaman, sedangkan kadar bahan organik
dan P rendah. Hara P merupakan pembatas utama produktivitas pada tanah masam
(Mutert and Sri Adiningsih, 1996; Santoso, 1996), sehingga penggunaan pupuk
yang dapat meningkatkan hara P dan menurunkan kemasaman tanah sangat
diperlukan. Fosfat tanah terdapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi
oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H2PO4-
atau HPO4 2- (Havlin et al., 1999), tergantung dari kemasaman larutan
(pH). Fosfat tidak tersedia karena difiksasi Fe dan Al oksida pada tanah masam,
dan difiksasi Ca pada tanah basa. Di antara bentuk-bentuk tersebut terjadi
keseimbangan; artinya apabila bentuk P tidak tersedia berjumlah sedikit akan
terjadi aliran hara P dari bentuk-bentuk yang tidak tersedia. Hartono et al.
(2000) menyampaikan bahwa pemupukan P, penambahan pupuk kandang sapi dan pengapuran
nyata meningkatkan HCl-Pi dan NaOH-Pi, kecuali pengapuran tidak meningkatkan
NaOH-Pi. Bentuk-bentuk P yang terjadi di dalam tanah selain dipengaruhi oleh
sifat tanah yang dipupuk juga dipengaruhi oleh sumber pupuk yang diberikan.
Penelitian Sutriadi et al. (2005) menyatakan bahwa pada Typic Hapludox
Kalimantan Selatan hasil jagung tertinggi diperoleh pada pemberian P-alam
(Algeria, Jordan, Marroko, Senegal, dan Tunisia) yang diberikan. Sumber P yang
umum digunakan adalah SP- 36, sementara pupuk TSP tidak diproduksi lagi di
dalam negeri. Pupuk SP-36 dan TSP merupakan sumber P yang mudah larut dalam
air, namun kadar P2O5 pupuk TSP lebih tinggi, yaitu 46%. Hara P tanah dari TSP
lebih cepat tersedia bagi tanaman, sehingga cocok untuk tanaman semusim,
seperti jagung. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemupukan P
terhadap produktivitas tanah yang dicerminkan dalam pertumbuhan dan hasil
jagung pada Ultisols dan Inceptisols lahan kering.
1.2.TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengaruh pemupukan
fosfat terhadap produktifitas tanah inceptisol dan ultisol
2.
Untuk mengetahui hasil produktifitas jagung terhadap perlakuan pemupukan fosfat
pada tanah ultisol dan inceptisol.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.PUPUK FOSFAT
Pupuk Fosfat merupakan jenis pupuk tunggal (Straight Fertilizer) yang masuk ke dalam kategori
pupuk buatan (Kimia), dimana seperti kita ketahui walaupun dikatakan sebagai
pupuk buatan, namun pada proses pembuatannya tetap masuk ke dalam quality control yang baik.
Masalah hara yang paling banyak dilaporkan
pada lahan sulfat masam adalah ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P
yang tinggi oleh Al dan Fe. Hara P merupakan salah satu unsur hara yang paling
banyak dibutuhkan tanaman. Hara ini berfungsi untuk pertumbuhan akar, transfer
energi dalam proses fotosintesis dan respirasi, perkembangan buah dan biji,
kekuatan batang dan ketahanan terhadap penyakit. Serapan hara P yang cukup akan
menjamin tanaman tumbuh dengan baik (Lingga, 1986; Hakim, 1986). Oleh karenanya
pemupukan P pada lahan sulfat masam adalah komponen teknologi yang harus
mendapat prioritas. Pengapuran untuk mengurangi kemasaman tanah dan unsur
beracun dan pemupukan P untuk mengurangi kahat P diharapkan dapat meningkatkan
produktivitas lahan sulfat masam. Dalam kaitan dengan pemanfaatan fosfat alam,
lahan sulfat masam memiliki nilai tambah karena dengan tingkat kemasaman yang
tinggi maka kelarutan fosfat alam akan lebih cepat. Karena sebagian kandungan
fosfat alam adalah CaCO3, maka pemanfaatan fosfat alam akan mampu mengurangi
tingkat 64 kemasaman tanah sehingga membantu memperbaiki pertumbuhan tanaman.
Fosfat alam adalah mineral apatit yang umumnya memiliki kelarutan yang rendah,
sehingga ketersediaannya untuk tanaman sangat rendah. Untuk meningkatkan
kelarutannya, dalam proses pembuatan pupuk P komersial seperti SSP, TSP, SP-36
dan pupuk fosfat mudah larut lainnya, fosfat alam diasamkan dengan menambahkan
asam kuat seperti asam sulfat atau asam fosfat. Reaksi yang terjadi dapat digambarkan
sebagai berikut: Ca10(PO4)6CO3 + 7 H2SO4 + 3H2O 3Ca(H2PO4)2H2O + 7 CaSO4 +
H2CO3 Penambahan asam dimaksudkan untuk menghancurkan mineral apatit agar
fosfat membentuk ikatan yang lebih lemah sehingga mudah larut dan pada akhirnya
lebih tersedia bagi tanaman. Lahan sulfat masam dalam proses pembentukannya
menghasilkan asam sulfat sehingga membentuk reaksi sangat masam dalam
lingkungan tanah. Oleh karenanya fosfat alam yang diberikan pada tanah sulfat
masam akan mengalami peningkatan kelarutan yang sangat signifikan, sehingga
dapat dikatakan lahan sulfat masam adalah “pabrik pupuk alami”. Keuntungan yang
bisa diperoleh dari pemanfaatan fosfat alam pada lahan sulfat masam adalah:
(1) harga per satuan hara pupuk
lebih murah;
(2) kelarutan dan ketersediaan
hara P untuk tanaman meningkat;
(3) meningkatkan pH tanah sehingga
memperbaiki lingkungan perakaran tanaman; (4) pelepasan hara P secara bertahap
sehingga mengurangi jerapan oleh Al dan Fe; (5) fosfat alam mengandung hara
sekunder seperti Ca dan Mg yang dibutuhkan tanaman; dan
(6)
fosfat alam meningkatkan proses granulasi sehingga tanahnya lebih mudah diolah
dan tidak lengket. 65 Fosfat alam merupakan salah satu pupuk fosfat alami
karena berasal dari bahan tambang, sehingga kandungan P sangat bervariasi.
Efektivitas fosfat alam pada lahan sulfat masam dipengaruhi oleh kualitas
fosfat alam dan tingkat kehalusan butir. Fosfat alam yang bagus mengandung
fosfat alam (P2O5) lebih dari 25%. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran
tentang karakteristik lahan sulfat masam dan pemanfaatan fosfat alam untuk
meningkatkan produktivitasnya untuk tanaman pangan, perkebunan, dan
hortikultura.
2.2.TANAH
Tanah merupakan
lapisan kulit bumi yang tipis terletak di bagian paling atas permukaan bumi.
Material yang tidak padat, sebagai media dan sarana produksi untuk menumbuhkan
berbagai tanaman.
Tanah
sangat penting peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung
kehidupan tumbuhan dengan
menyediakan hara dan air sekaligus
sebagai penopang akar.
Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar
untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai
mahklik hidup seperti Manusia, mikroorganisme,
dan juga Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan
bergerak.
Secara umum tanah
(dengan bahan induk mineral) tersusun atas 50% bahan padatan (45% bahan mineral
dan 5% bahan organik), 25% air dan 25% udara. Sedangkan pada tanah organik
(misalnya gambut), bahan padatan tersebut terdiri atas 5 % bahan organik dan
45% bahan mineral). Bahan organik dalam tanah terdiri atas mikroorganisme 10 %,
akar 10% dan humat 80 %, meskipun jumlahnya sedikit namun memiliki fungsi
sangat penting
Komponen Mineral Tanah Mineral
tanah tersusun dari tiga komponen, yaitu: pasir (sand), debu (silt)
dan lempung (clay). Ketiga komponen tersebut dibedakan berdasarkan
ukurannya yang berbeda. Partikel pasir berukuran antara 200 mikrometer sampai
dengan 2.000 mikrometer. Partikel debu berukuran antara 2 mikrometer sampai
dengan kurang dari 200 mikrometer. Partikel lempung berukuran kurang dari 2
mikrometer.
Fungsi Tanah:
·
Produksi biomassa : tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran,
sumber hara dan zat pendukung pertumbuhan.
·
Penyaringan, penyangga dan pengubah antara atmosfer, air tanah
dan akar tanaman
·
Habitat biologi dan konservasi genetic
·
Sebagai ruang infra-struktur untuk teknik, industri dan sosial
ekonomi serta pembangunannnya
2.3.TANAH INCEPTISOL
Ultisol
merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas,
mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia
(Subagyo dkk., 2004). Tanah Ultisol yaitu tanah yang memiliki kemasaman kurang
dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen kimia tanahnya yang berperan
terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah.
Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm
dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai
kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk
klasifikasi Tanah Ultisol menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis Tanah Ultisol
mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol kg-1 liat, yaitu Ultisol yang
mempunyai horizon kandik. Reaksi Tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat
masam (pH 5−3,10), kecuali Tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai
reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50) ( Hermawan dkk., 2014).
Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada Tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa
tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol kg-1 , 6,11−13,68
cmol kg-1 , dan 6,10−6,80 cmol kg-1 , 9 sedangkan yang dari bahan volkan
andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol kg-1 ) (Prasetyo dan
Suriadikarta, 2006). Tekstur Tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh
bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa
umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir. Sedangkan Tanah
Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur
yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja, 1986). Warna tanah
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan
warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa
dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti
goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat
warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah
makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys, 1970). Ultisol merupakan tanah
masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang intensif dan umumnya
dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi tersebut sangat
menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun, dominasi kaolinit tersebut
tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat kimia tanah, karena KTK
kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50 cmol kg-1 (Briendly dkk.,1986).
Mineral liat lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo
dkk., 2004). 10 Tanah Ultisol memiliki kapasitas jerapan P tinggi yang dapat
disebabkan oleh tingginya kandungan ion Al+3, Fe+3 , Fe-oksida, dan mineral
liat. Bentuk Fe di dalam tanah antara lain disebut dengan konkresi besi. Di
tanah masam seperti Tanah Ultisol keberadaan konkresi besi lebih banyak
ditemukan. Konkresi besi dapat menyebabkan tingginya daya jerap tanah. Semakin
banyak keberadaan konkresi besi maka semakin tinggi kekuatan tanah untuk
menjerap unsur hara seperti fosfor. Sehingga menyebabkan fosfor tidak tersedia
bagi tanaman.
2.4.TANAH ULTISOL
Tanah
inceptisol meruapakan tanah yang sudah mulai berkekmbang. merupakan tanah muda
yang sudah mulai berkembang. Inceptisol adalah tanah yang belum matang
(immature) yang perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah
matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Hardjowigeno,1993).
Tanah yang dapat memiliki epipedon okhrik dan horison albik seperti yang
dimiliki tanah entisol juga yang menpunyai beberapa sifat penciri lain (
misalnya horison kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang
lain.
Sifat dan karakteristik
:
Inceptisol
mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat –sifat tersedianya air untuk
tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut –turut dalam
musim – musim kemarau, satu atau lebih horison pedogenik dengan sedikit
akumulasi bahan selain karbonat atau silikat amorf, tekstur lebih halus dari
pasir geluhan dengan beberapa mineral lapuk dan kemampuan manahan kation fraksi
lempung ke dalam tanah tidak dapat di ukur. Kisaran kadar C organik dan Kpk
dalam tanah inceptisol sangat lebar dan demikian juga kejenuhan basa.
Inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tempat kecuali daerah
kering mulai dari kutup sampai tropika. (Darmawijaya, 1990). Tanah in ceptisol
memiliki kadar alumunium dan kadar zat besinya tinggi. Keasaman yang terkandung
pada tanah ini adalah 5-7 dengan tingkat kejenuhan 72 %, oleh karena itu tanah
ini memiliki tingkat keasaman sedang.
Karakteristik
tanah inceptisol adalah sebagai berikut :
Ø Memiliki
solum tanah agak tebal yaitu 1-2 meter
Ø Warnanya
hitam atau kelabu sampai coklta tua
Ø Teksturnya
debu, lempung debu, bahkan lempung
Ø Tekstur
tanahnya gempur, memiliki ph 5-7
Ø Memiliki
bahan organik yang tinggi yaitu 10% - 30%
Ø Merupakan
tanah muda yang subur
Ø Banyak
mengandung mineral primer
Ø Mengembang
dari endapan tanah hasil erosi
Pemanfaatan:
Pemanfaatan
yang bervariasi mulai untuk bercocok tanam hortikultura tanaman pangan, sampai
dikembangkan sebagai lahan-lahan perkebunan besar seperti sawit, kakao, kopi,
dan lain sebagainya, bahkan pada daerah-daerah yang eksotis, dikembangkan pula
untuk agrowisata. Tanah inceptisol merupakan tanah yang masih berupa bahan
induk yang belum matang, terdapat di lereng yang curam dan hutan dengan sedikit
menggunakan sistem drainase agar tanah dapat diolah untuk pertanian
Sebaran:
Terbentuk
dari tanah alluvial, banyak terdapat di lembah-lembah atau jalur aliran sungai
atau daerah pantai,dengan vegetasi daerah sungai dan pantai,banyak dijumpai di
kalimantan, papua, dan maluku, tanah ini usianya masih muda dan tarmasuk tanah
mineral. Tanah yang menyebar mulai di lingkungan iklim semiarid (agak kering)
sampai iklim lembap. Memiliki tingkat pelapukan dan perkembangan tanah yang
tergolong sedang. Terdapat hamper di seluruh kepulauan Indonesia.
BAB
III
METODE PENELITIAN
3.1 METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK), diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 5 tingkat dosis pupuk P, ditambah
perlakuan SP-36 dengan dosis 40 kg P ha-1 (P2*) . Ke lima tingkat dosis P : 0,
20, 40, 60 dan 80 kg P ha-1 dengan kode perlakuan p0, p1, p2, p3 dan p4. Selain
pupuk P sebagai perlakuan setiap petak perlakuan ditambah 300 kg urea dan 200
kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Pupuk TSP dan SP-36 diberikan dengan cara
ditugal bersamaan pupuk urea dan KCl pada saat tanam. Pupuk urea dan KCl diberikan
2 kali yaitu pada saat tanam dan umur 1 bulan setelah tanam, masing-masing
dengan ½ dosis. Lubang pupuk dibuat dengan ditugal sejajar barisan tanaman
dengan jarak + 5 cm dan kedalaman 3 – 5 cm, kemudian ditutup dengan tanah.
Pupuk urea dan KCl kedua diberikan dengan cara disebar dalam larikan yang
dibuat sejajar barisan tanaman dengan jarak 3-5 cm kemudian ditutup dengan
tanah. Petak perlakuan berukuran 4.5 m x 5 m untuk lokasi Cibatok, Bogor dan 6
m x 5 m untuk lokasi Jagang, Lampung Utara, jarak antar perlakuan 0.5 m dan
jarak antar ulangan 1.0 m. Tanaman jagung varietas Lamuru digunakan sebagai
tanaman indikator, ditanam dengan jarak 75 cm x 20 cm sejumlah 2 tanaman per
lubang. Setelah tanaman berumur 1 minggu dilakukan penjarangan dan ditinggalkan
1 tanaman per lubang. Jagung dipanen dua kali, setengah petakan dipanen saat
buah jagung masih muda dan setengahnya dipanen saat masak fisiologis.
Pengamatan dilakukan terhadap analisis contoh tanah sebelum diberi perlakuan:
tekstur tanah, pH H2O dan KCl 1N, C-organik, N-total, Pengaruh pemupukan fosfat
terhadap produktivitas tanah JIPI 93 P terekstrak HCl 25%, Bray-1, K HCl
25%, Ca, Mg, K, Na, KTK terekstrak NH4OAc 1N pH 7, KB, Al3+ dan H+ terekstrak
KCl 1N (Balai Penelitian Tanah, 2005). Komponen pertumbuhan dan hasil tanaman :
tinggi tanaman pada umur 30, 60 hari setelah tanam (hst), dan menjelang panen.
Pengamatan terhadap komponen hasil yaitu bobot tongkol basah, biji jagung
kering serta bobot kering tanaman. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan
sidik ragam (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata menggunakan Duncan
(DMRT) atau uji lainnya pada taraf 5% untuk membandingkan perbedaan antar
perlakuan.
3.2 TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan pada tanah Inceptisol Cibatok,
Bogor dan Ultisols Jagang, Lampung Utara, pada MK. 2004. Sumber pupuk P yang
digunakan dalam penelitian ini adalah TSP Anjing Laut dan SP-36.
3.3 BAHAN
DAN ALAT
1. Pupuk P ,TSP Anjing Laut Dan SP-36
2. Timbangan,media
tanah,sekop,pacul,parang,meteran,alat tulis,timbangan,polibac.
3.4 PELAKSANAAN PENELITIAN
Sifat fisik dan kimia tanah sebelum diberi perlakuan
di Cibatok, Bogor dan Jagang, Lampung Utara disajikan pada Tabel 1. Kedua
lokasi bertekstur liat, dan tanah bersifat masam, serta kadar C-organik dan
N-total termasuk rendah. Kadar P terekstrak HCl 25% dan Bray-1 termasuk tinggi,
kadar K baik terekstrak HCl 25% maupun NH4OAc 1N pH 7 termasuk rendah. KTK
tanah di Bogor termasuk sedang dan di Lampung termasuk rendah. Kejenuhan basa
pada kedua lokasi di bawah 50%. Hal ini berarti tanah pada lokasi percobaan kadar
ion basa lebih sedikit daripada ion yang bersifat masam. Kejenuhan Al tanah di
Cibatok di bawah batas toleransi untuk pertumbuhan tanaman jagung, sedang di
Lampung tepat pada batas toleransi. Batas toleransi kejenuhan Al untuk kacang
hijau adalah 5%, kacang tanah 29%, kedelai 15%, kacang tunggak 55%, jagung 28%
dan padi gogo 70% (Sri Adiningsih dan Kasno, 1999; Wade et al, 1988),
sehingga tanpa pengapuran pertumbuhan tanaman jagung tidak terganggu. Kejenuhan
basa yang rendah disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang tinggi, sehingga
basabasa tercuci dan kation masam yang lebih banyak. Kation yang bersifat masam
menyebabkan hara Sifat Tanah Inceptisols, Ultisols, Cibatok Jagang dan Jagang,
Lampung Utara, MK. 2004 lain menjadi tidak tersedia oleh tanaman. KTK tanah
juga rendah, hal ini menyebabkan hara yang ditambahkan ke dalam tanah mudah
hilang tercuci. Kadar C-organik yang rendah dapat disebabkan oleh pengelolaan
yang kurang tepat, misalnya penambahan bahan organik in situ tidak
pernah dilakukan, pada tanah yang miring tidak diterapkan konservasi lahan.
Kadar C-organik yang rendah menyebabkan tanah tidak dapat menyimpan air, KTK
tanah rendah atau dengan kata lain hara yang ditambahkan tidak dapat diikat
oleh tanah atau bahan organik sehingga mudah tercuci. Dari kedua tanah
tersebut, tanah dari dari Inceptisols Cibatok lebih subur dibandingkan Ultisols
Jagang.
3.5 ANALISIS DATA
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok
(RAK), diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 5 tingkat dosis pupuk P, ditambah
perlakuan SP-36 dengan dosis 40 kg P ha-1 (P2*) . Ke lima tingkat dosis P : 0,
20, 40, 60 dan 80 kg Pha-1 dengan kode perlakuan p0, p1, p2, p3 dan p4. Selain
pupuk P sebagai perlakuan setiap petak perlakuan ditambah 300 kg urea dan 200
kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan
sidik ragam (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata menggunakan Duncan
(DMRT) atau uji lainnya pada taraf 5% untuk membandingkan perbedaan antar
perlakuan.
DAFTAR
PUSTAKA
Balai
Penelitian Tanah, 2005. Analisis kimia
Tanah,tanaman, air, dan pupuk. Petunjuk Teknis. p.136.
Dierolf,
T., Thomas Fairhurst, dan Ernst Mutert. 2001. Soil Fertility Kit: a toolkit for acid,upland soil fertility management
in Southeast Asia. P. 149. PPI, PT Jasa Katom, ProRLK,GTZ GmbH, dan
Kalimantan Upland Farming (KUF). Hartono, A., P.L.G. Vlek, A. Moaward and A.
Rachim. 2000.
Changes
in phosphorus fractions on an acidic soil induced by phosphorus fertilizers,
organic matter and lime. Jurnal Ilmu Tanah
dan Lingkungan.3(2): 1-7.
Havlin,
J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers An Introduction to Nutrient Management.
6th ed. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. pp. 497.
Hidayat,
A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering
untuk Pertanian. hlm. 1-34. Buku Pengelolaan Lahan Kering untuk
Meningkatkan Produksi Pertanian Berkelanjutan. Mappaona et al. (eds).
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Mutert,
E. W. and J. Sri Adiningsih. 1996. Tropical
upland improvement: comparative performance of different phosphorus source. p. 97-108. In Nutrient
Management for Sustainable Crop Production in Asia. Proc. Of an International
Conference held in Bali, Indonesia, 9-12 December 1996.
Santoso,
D. 1996. Development of phosphorus
fertilizer use on acid soils in Indonesia. p. 75- 84. In Nutrient
Management for Sustainable Crop Production in Asia. Proc. Of an International
Conference held in Bali, Indonesia, 9-12 December 1996, .
Sri
Adiningsih and Kasno. 1999. Increasing
the productivity of marginal upland for agricultural development in Indonesia.
Paper presented at the International Symposium on Management Technologies for
The Improvement of Problem Soils; Queson City, Philippines: 3-5 August, 1999.
Sutriadi,
M.T., R. Hidayat, S. Rochayati, dan D. Setyorini. 2005. Ameliorasi lahan dengan fosfat alam untuk perbaikan kesuburan Tanah
kering masam Typic Hapludox di Kalimatan Selatan. hlm. 143 – 155. Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya Tanah dan Iklim. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, 14-15 September 2004,
Wade,
M. K., Dan W. Gill, H. Subagj, M. Sudjadiand Pedro A. Sanchez. 1988. Overcoming soil fertility constraints in a
Transmigration area of Indonesia. Neil Caudle (ed). TropSoils Bulletin No.
88-01. The Soil Management Collaborative Research SupportProgram, North
Carolina State University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar