Selasa, 21 Mei 2019

MAKALAH PERBEDAAN SISTEM PENCERNAAN HEWAN RUMINANSIA DAN NON RUMINANSIA


                                      
MAKALAH
PERBEDAAN SISTEM PENCERNAAN HEWAN RUMINANSIA DAN NON RUMINANSIA

                                               
OLEH
APRIANUS REMELO MALI        (2017410020)

                                           PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
MARET
                                                                          2019





KATA PENGANTAR
                  Pujih dan syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segalah rahmat dan kuasaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah saya yang berjudul Perbedaan sistem pencernaan ruminansia dan Non ruminansia” ini dengan tepat pada wakutnya.. Saya menyadari bahwa makalah saya ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya sangat membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca budiman sehingga kedepannya kiraya saya menjadi  sempurna.Semoga makalah yang saya buat ini bisa bermanfaat bagi para pembaca.













DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….ii
 BAB  1 PENDAHULUAN………………………………………………………………..1
          1.1. LATAR BELAKANG…………………………………………………………1
         1.2. RUMUSAN MASALAH……………………………………………………….1
         1.3. TUJUAN DAN MANFAAT…………………………………………………...2
BAB  2  PEMBAHASAN…………………………………………………………………3
          2.1. PENGERITIAN HEWAN RUMINANSIA DAN NON RUMINANSIA…..3
          2.2. PERBEDAAN SISTEM PENCERNAAN  RUMINANSIA DAN NON   
                 ROMINANSIA……………..4
BAB  3  KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………6
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..8
          



BAB   I  PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
                Hewan ruminansia adalah kelompok hewan mamalia yang bisah memamah atau memekan dua kali. Hewan ruminanasia atau sering disebut juga hewan pemamah biak yaitu sekelompok hewan pemakan tumbuhan (herbivora) yang mempunyai dua proses pencernaan makanan. Pertama dengan mengunyak makanan yang sudah dicerna di dalam perutnya kemudian di keluarkan lagi untuk di makan kembali pada proses pencernaan yang kedua. Hal ini memungkinkan hewan ruminanasia dapat mendaatkan sari-sari makanan yang dapat memberikan nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan hewan ruminansia. Selai itu hewan ruminansia dibantu mikroorganisme dalam perutnya dalam proses pencernaan. Pengeluaran kembalai makanan yang telah dicerna sebagian yang disebut cad. keluar dari rumen dan mengunyahnya untuk kedua kalinya disebut cudding. Hewan ruminansia memiliki lambung degan beberapa ruangan. Hewan ruminanasia termasuk dalam subordo Ruminansia dan ordonya adalah artiodaktil atau berkuku belah. Hewan ruminansia memiliki empat lambung, yaitu (rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Selain itu hewan ruminansia juga memamah makanan yang telah dicerna, maka dari itu hewan ruminansia juga disebut hewan pemamah biak. Contoh hewan ruminansia adalah sapi, domba, kambing dan rusa.
                Hewan non ruminansia (unggas) memiliki pencernaan monogastrik (perut tunggal) yang berkapasitas kecil. Makanan ditampung di dalam crop kemudian,empedal  atau gizzard terjadi penggilingan sempurna hingga halus. Makanan yang tidak tercerna akan keluar bersama ekskreta, oleh karena itu sisa pencernaan pada unggas berbentuk cair. Zat kimia dari hasil–hasil sekresi kelenjar pencernaan memiliki peranan penting dalam sistem pencernaan manusia dan hewan monogastrik lainnya. Pencernaan makanan berupa serat tidak terlalu berarti dalam spesies ini. Unggas tidak memerlukan peranan mikroorganisme secara maksimal, karena makanan berupa serat sedikit dikonsumsi. Saluran pencernaan unggas sangat berbeda dengan pencernaan pada mamalia. Perbedaan itu terletak didaerah mulut dan perut, unggas tidak memiliki gigi untuk mengunyah, namun memiliki lidah yang kaku untuk menelan makanannya. Perut unggas memiliki keistimewaan yaitu terjadi pencernaan mekanik dengan batu-batu kecil yang dimakan oleh unggas.
1.2.Rumusan masalah
1.3.        1.Apa perbedaan hewan ruminansia dan non ruminansia?
1.4.       2. apa perbedaan Sistem pencernaan hewan runinansia dan non ruminansia?
1.3. Tujuan dan manfaatnya yaitu:  Untuk mengetahui perbedaan sistem pencernaan  hewan ruminansia dan non ruminansia.















BAB  II  PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian hewan ruminansia dan non ruminansia
      a. Hewan ruminansia 
            Hewan ruminansia adalah ternak atau hewan yang memiliki empat buah lambung danmengalami proses memamahbiak atau proses pengembalian makanan dari lambung kemulut untuk di mamah. Contoh hewan ruminansia ini adalah ternak sapi, kerbau,dambing serta ternak domba.
     b.Hewan non ruminansia adalah ternak atau hewan yangmemiliki satu lambung atau di sebutjuga dengan ternak monogastrik. Contohnya : ayam, burung, kuda serta babi.
  2.2. Sistem pencernaan ruminansia dan non ruminansia
            Hewan ruminansia adalah kelompok hewan mamalia yang bisa memah (memakan) dua kali sehingga kelompok hewan tersebut dikenal uga sebagai hewan memamah biak. Dalam sistem klasifikasi, manusia dan hewan ruminansia pada umumnya mempunyai kesamaan siri dari sistem pencernaan hewan ruminansia dan manusia. Contoh hewan ruminansia ialah kerbau, domba, kambing, sapi, kuda, jerapah, kancil, rusa dan lain – lain.
            Ditinjau dari cara makan dan sistem pencernaannya, hewan ruminansia atau hewan memamah biak termasuk hewan yang unik. Mereka dapat mengunyah atau memamah makanannya yang berupa rerumputan melalui 2 fase. Fase pertama terjadi saat awal kali mereka makan, makanannya itu hanya dikunyah sebentar dan masih kasar. Mereka kemudian menyimpan makanannya itu dalam rumen lambung . Selang beberapa waktu saat lambung sudah penuh, mereka kemudian mengeluarkan makanan yang dikunyahnya tadi untuk dikunyah kembali hingga teksturnya lebih halus. Baru kemudian setelah halus, makanan tersebut masuk ke dalam rumen lambung lagi.
a.       Sistem pencernaan ruminansia
            Menyadari bahwa jenis makanannya tersusun atas selulosa yang sulit dicerna, hewan ruminansia memiliki saluran sistem pencernaan khusus. Adapun organ-organ pada saluran sistem pencernaan hewan ruminansia berikut ini telah beradaptasi jenis makanan alaminya.
1.      Rongga mulut
           Dalam rongga mulut hewan ruminansia, terdapat 2 organ sistem pencernaan yang memiliki fungsi penting, yaitu gigi dan lidah. Gigi ruminansia berbeda dengan susunan gigi mamalia lain. Gigi seri (insisivus) memiliki bentuk yang sesuai untuk menjepit makanan berupa rumput, gigi taring (caninus) tidak berkembang sama sekali, sedangkan gigi geraham belakang (molare) memiliki bentuk datar dan lebar.
2.      Esofagus
            Esofagus atau kerongkongan adalah saluran organ penghubung antara rongga mulut dan lambung. Di saluran ini, makanan tidak mengalami proses pencernaan. Mereka hanya sekedar lewat sebelum kemudian digerus di dalam lambung. Esofagus pada hewan ruminansia umumnya berukuran sangat pendek yaitu sekitar 5 cm, namun lebarnya mampu membesar (berdilatasi) untuk menyesuaikan ukuran dan tekstur makanannya.
3.       Lambung   
           Setelah melalui esofagus, makanan akan masuk ke dalam lambung. Lambung pada hewan ruminansia selain berperan dalam proses pembusukan dan peragian, juga berguna sebagai tempat penyimpanan sementara makanan yang akan dikunyah kembali. Ukuran ruang dalam lambung hewan ruminansia bervariasi tergantung pada umur dan makanannya. Yang jelas ruangan lambung tersebut terbagi menjadi 4 bagian yaitu rumen (80%), retikulum (5%), omasum (7–8%), dan abomasum (7–8%).
4.       Rumen atau perut besar
          Mula-mula makanan yang melalui kerongkongan akan masuk ke dalam rumen. Makanan ini secara alami telah bercampur dengan air ludah yang sifatnya alkali dengan pH ± 8,5.  Rumen berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara bagi makanan yang telah ditelan. Setelah rumen terisi cukup makanan, sapi akan beristirahat sembari mengunyah kembali makanan yang dikeluarkan dari rumen ini.Di dalam rumen, populasi bakteri dan Protozoa menghasilkan enzim oligosakharase, hidrolase, glikosidase, amilase, dan enzim selulase. Enzim-enzim ini berfungsi untuk menguraikan polisakarida termasuk selulosa yang terdapat dalam makanan alami mereka. enzim pengurai protein seperti enzim proteolitik dan beberapa enzim pencerna lemak juga terdapat di sana.
5.      Retikulum atau perut jala
      Di retikulum, makanan diaduk-aduk dan dicampur dengan enzim-enzim tersebut hingga menjadi gumpalan-gumpalan kasar (bolus). Pengadukan ini dilakukan dengan bantuan kontraksi otot dinding retikulum. Gumpalan makanan ini kemudian didorong kembali ke rongga mulut untuk dimamah kedua kalinya dan dikunyah hingga lebih sempurna saat sapi tengah beristirahat.
6.      Omasum atau perut buku
        Setelah gumpalan makanan yang dikunyah lagi itu ditelan kembali, mereka akan masuk ke omasum melewati rumen dan retikulum. Di dalam omasum, kelenjar enzim akan membantu penghalusan makanan secara kimiawi. Kadar air dari gumpalan makanan juga dikurangi melalui proses absorpsi air yang dilakukan oleh dinding omasum.
7.      Abomasums atau perut masam
           Abomasum adalah perut yang sebenarnya karena di organ inilah sistem pencernaan hewan ruminansia secara kimiawi bekerja dengan bantuan enzim-enzim pencernaan. Di dalam abomasum, gumpalan makanan dicerna melalui bantuan enzim dan asam klorida. Enzim yang dikeluarkan oleh dinding abomasum sama dengan yang terdapat pada lambung mamalia lain, sedangkan asam klorida (HCl) selain membantu dalam pengaktifan enzim pepsinogen yang dikeluarkan dinding abomasum, juga berperan sebagai desinfektan bagi bakteri jahat yang masuk bersama dengan makanan. Seperti diketahui bahwa bakteri akan mati pada Ph yang sangat rendah.
8.      Usus halus dan anus
Setelah makanan telah halus, dari ruang abomasum makanan tersebut   kemudiandidorongmasuk ke usus halus. Di organ inilah sari-sari makanan diserap dan diedarkan oleh darah ke seluruh tubuh. Selanjutnya ampas atau sisa makanan keluar melalui anus.
b.    Pengertian hewan non ruminansia
Hewan non ruminansia (unggas) memiliki pencernaan monogastrik (perut tunggal) yang berkapasitas kecil. Makanan ditampung di dalam crop kemudianempedal/gizzard terjadi penggilingan sempurna hingga halus. Makanan yang tidak tercerna akan keluar bersama ekskreta, oleh karena itu sisa pencernaan pada unggas berbentuk cair.
Zat kimia dari hasil–hasil sekresi kelenjar pencernaan memiliki peranan penting dalam sistem pencernaan manusia dan hewan monogastrik lainnya. Pencernaan makanan berupa serat tidak terlalu berarti dalam spesies ini. Unggas tidak memerlukan peranan mikroorganisme secara maksimal, karena makanan berupa serat sedikit dikonsumsi. Saluran pencernaan unggas sangat berbeda dengan pencernaan pada mamalia. Perbedaan itu terletak didaerah mulut dan perut, unggas tidak memiliki gigi untuk mengunyah, namun memiliki lidah yang kaku untuk menelan makanannya. Perut unggas memiliki keistimewaan yaitu terjadi pencernaan mekanik dengan batu-batu kecil yang dimakan oleh unggas digizzard.
Saluran pencernaan ruminansia terdiri dari rongga mulut (oral), kerongkongan (oesophagus), proventrikulus (pars glandularis), yang terdiri darirumen, retikulum, dan omasum; ventrikulus (pars muscularis) yakni abomasum, usus halus (intestinum tenue), usus besar (intestinum crassum), sekum (coecum), kolon, dan anus. Lambung sapi sangat besar, yakni ¾ dari isi rongga perut. Lambung mempunyai peranan penting untuk menyimpan makanan sementara yang akan dikunyah kembali (kedua kali). Selain itu, pada lambung juga terjadi pembusukan dan peragian.
Pada hewan lambung tunggal (kelinci) organ saluran pencernaanya terdiri dari mulut, faring, kerongkongan, lambung (gastrum), usus halus (intestineum tenue), yang terdiri dari doedenum, jejenum, ileum, usus besar (intestinum crasum), yang terdiri dari kolon, sekum, dan rektum kemudian berakhir pada anus.
b.    Saluran Pencernaan Nonruminansia
Saluran pencernaan non ruminansia.  Pada ternak non ruminansia atau hewan yang mempunyai labung tunggal alat pencernaanya terdiri dari :
a.    Mulut ( cawar oris )
b.    Tekak ( pharing )
c.    Kerongkongan ( esophagus )
d.    Gastrium ( lambung )
e.    Intestinum tenue ( usus halus: duodenum, ileum ,jejunum ) usus kasar ( caecum 
       dan  rektum).
f.     Anus
Saluran pencernaan ini dinamakan dengan monogastrik, pada jenis unggas saluran pencernaanya mempunyai beberapa perbedaan dalam bentuk anatominya dengan hewan monogastrik lainnya, tetapi fungsinya secara umum dapat di katakana hamper sama, sedangkan pada hewan ruminansia lebih komleks.
Perbedaan kebutuhan zat makanan ternak ruminansia dan non ruminansia Standar kebutuhan pakan atau sering juga diberi istilah dengan standar kebutuhan zat-zat makanan pada hewan ruminansia sering menggunakan satuan yang beragam, misalnya untuk kebutuhan energi dipakai Total Digestible Nutrient (TDN), Metabolizable Energy (ME) atau Net Energy (NEl) sedangkan untuk kebutuhan protein dipakai nilai Protein Kasar (PK), PK tercerna atau kombinasi dari nilai degradasi protein di rumen atau protein yang tak terdegradasi di rumen. Istilah STANDAR didefinisikan sebagai dasar kebutuhan yang dihubungkan dengan fungsi aktif (status faali) dari hewan tersebut.
Misalnya pada sapi perah, pemberian pakan didasarkan atas kebutuhan untuk hidup pokok dan produksi susu, sedangkan untuk sapi potong lebih ditujukan untuk kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Namun tidak mudah pula untuk menentukan kebutuhan hanya untuk hidup pokok saja atau produksi saja, terutama untuk kebutuhan zat makanan yang kecil seperti vitamin dan mineral.


c.    Contoh Sistem Pencernaan Hewan Non ruminansia pada unggas
Unggas mengambil makanannya dengan paruh dan kemudian terus ditelan. Makanan tersebut disimpan dalam tembolok untuk dilunakkan dan dicampur dengan getah pencernaan proventrikulus dan kemudian digiling dalam empedal. Tidak ada enzim pencernaan yang dikeluarkan oleh empedal unggas. Fungsi utama alat tersebut adalah untuk memperkecil ukuran partikel-partikel makanan.
Dari empedal, makanan bergerak melalui lekukan usus yang disebut duodenum, yang secara anatomis sejajar dengan pankreas. Pankreas tersebut mempunyai fungsi penting dalam pencernaan unggas seperti halnya pada spesies-spesies lainnya. Alat tersebut menghasilkan getah pankreas dalam jumlah banyak yang mengandung enzim-enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzim-enzim tersebut berturut-turut menghidrolisa pati, lemak, proteosa dan pepton. Empedu hati yang mengandung amilase, mamasuki pula duodenum.
Bahan makanan bergerak melalui usus halus yang dindingnya mengeluarkan getah usus. Getah usus tersebut mengandung erepsin dan beberapa enzim yang memecah gula. Erepsin menyempurnakan pencernaan protein, dan menghasilkan asam-asam amino, enzim yang memecah gula mengubah disakharida ke dalam gula-gula sederhana (monosakharida) yang kemudian dapat diasimilasi tubuh. Penyerapan dilaksanakan melalui villi usus halus.
Unggas tidak mengeluarkan urine cair. Urine pada unggas mengalir ke dalam kloaka dan dikeluarkan bersama-sama feses. Warna putih yang terdapat dalam kotoran ayam sebagian besar adalah asam urat, sedangkan nitrogen urine mammalia kebanyakan adalah urine. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas digambarkan pada proses pencernaan yang cepat (lebih kurang empat jam).






DAFTAR PUSTAKA
Abun. 2008. Nutrisi Mineral . Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Adam, Moh. Awaludin. 2011. Metabolisme Mineral. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya. Bauman DE, Lock AL. 2006. Concepts in lipid digestion and metabolism in dairy cows. In: Eastridge ML, editor. Proceeding of Tri-State Dairy Nutrition Conference. Indiana, 25-26 April 2006. Port Wayne (Indiana): The Oiho State University. p. 1-14. Blakely, J dan David H Blade . 1994. Ilmu Peternakan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Chahal, Udeybir Sighr. 2008. General Animal Nutrition. India: International Book Distributing co. Doreau M, Chilliard Y. 1997. Digestion and metabolism of dietary fat in farm animals. Br J Nutr. 78 Suppl 1:S15-S35. Harfoot CG, Hazlewood GP. 1997. Lipid metabolism in the rumen. In: Hobson PN, Stewart CS, editors. The rumen microbial ecosystem. London (UK): Chapman & Hall. p. 382-426. Hermansyah,D.2014.



PENGARUH PEMUPUKAN FOSFAT TERHADAP PRODUKTIVITAS TANAH INCEPTISOL DAN ULTISOL


PROPOSAL
PENGARUH PEMUPUKAN FOSFAT TERHADAP PRODUKTIVITAS
TANAH INCEPTISOL DAN ULTISOL

OLEH:
YOHANES THEODORUS BRIA
2016330091

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI
MALANG
2019
DAFTAR ISI

BAB I  PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG…………………………………………………………
TUJUAN……………………………………………………………………….

BAB II  TINJAUAN PUSTAKA
2.1.PUPUK FOSFAT…………………………………………………………
2.2.TANAH……………………………………………………………………
2.3.TANAH INCEPTISOL…………………………………………………..
2.4.TANAH ULTISOL……………………………………………………….
BAB III METODE PENELITIAN
TEMPAT DAN WAKTU……………………………………………………
BAHAN DAN ALAT…………………………………………………………
METODE PENELITIAN……………………………………………………
PELAKSANAAN PENELITIAN…………………………………………..
ANALISIS DATA……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.2.LATAR BELAKANG
       Hara P merupakan hara makro kedua setelah N yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang cukup banyak. Ketersediaan P dalam tanah ditentukan oleh bahan induk tanah serta faktorfaktor yang mempengaruhi ketersediaan hara P
seperti reaksi tanah (pH), kadar Al dan Fe oksida, kadar Ca, kadar bahan organik, tekstur dan pengelolaan lahan. Penerapan konservasi tanah juga mempengaruhi dinamikanya dalam tanah sehingga penting mendapat perhatian dalam
pengelolaan hara P. Pengembangan lahan pertanian lebih diarahkan ke luar Jawa. Luas lahan kering di Indonesia sekitar 148 juta ha yang terdiri atas 102.8 juta ha lahan masam dan tanah tidak masam seluas 45.3 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002).
       Lahan kering di luar Jawa didominasi oleh tanah Ultisols dan Oxisols. Kedua tanah tersebut telah mengalami pelapukan lanjut, basa-basanya tercuci sehingga tanah menjadi masam dengan kadar Al, Fe dan Mn oksida tinggi yang dapat meracuni tanaman, sedangkan kadar bahan organik dan P rendah. Hara P merupakan pembatas utama produktivitas pada tanah masam (Mutert and Sri Adiningsih, 1996; Santoso, 1996), sehingga penggunaan pupuk yang dapat meningkatkan hara P dan menurunkan kemasaman tanah sangat diperlukan. Fosfat tanah terdapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H2PO4- atau HPO4 2- (Havlin et al., 1999), tergantung dari kemasaman larutan (pH). Fosfat tidak tersedia karena difiksasi Fe dan Al oksida pada tanah masam, dan difiksasi Ca pada tanah basa. Di antara bentuk-bentuk tersebut terjadi keseimbangan; artinya apabila bentuk P tidak tersedia berjumlah sedikit akan terjadi aliran hara P dari bentuk-bentuk yang tidak tersedia. Hartono et al. (2000) menyampaikan bahwa pemupukan P, penambahan pupuk kandang sapi dan pengapuran nyata meningkatkan HCl-Pi dan NaOH-Pi, kecuali pengapuran tidak meningkatkan NaOH-Pi. Bentuk-bentuk P yang terjadi di dalam tanah selain dipengaruhi oleh sifat tanah yang dipupuk juga dipengaruhi oleh sumber pupuk yang diberikan. Penelitian Sutriadi et al. (2005) menyatakan bahwa pada Typic Hapludox Kalimantan Selatan hasil jagung tertinggi diperoleh pada pemberian P-alam (Algeria, Jordan, Marroko, Senegal, dan Tunisia) yang diberikan. Sumber P yang umum digunakan adalah SP- 36, sementara pupuk TSP tidak diproduksi lagi di dalam negeri. Pupuk SP-36 dan TSP merupakan sumber P yang mudah larut dalam air, namun kadar P2O5 pupuk TSP lebih tinggi, yaitu 46%. Hara P tanah dari TSP lebih cepat tersedia bagi tanaman, sehingga cocok untuk tanaman semusim, seperti jagung. Penelitian bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemupukan P terhadap produktivitas tanah yang dicerminkan dalam pertumbuhan dan hasil jagung pada Ultisols dan Inceptisols lahan kering.

1.2.TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengaruh pemupukan fosfat terhadap produktifitas tanah inceptisol dan ultisol
2. Untuk mengetahui hasil produktifitas jagung terhadap perlakuan pemupukan fosfat pada tanah ultisol dan inceptisol.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.PUPUK FOSFAT
Pupuk Fosfat  merupakan jenis pupuk tunggal (Straight Fertilizer) yang masuk ke dalam kategori pupuk buatan (Kimia), dimana seperti kita ketahui walaupun dikatakan sebagai pupuk buatan, namun pada proses pembuatannya tetap masuk ke dalam quality control yang baik.
Masalah hara yang paling banyak dilaporkan pada lahan sulfat masam adalah ketersediaan hara P yang rendah dan fiksasi P yang tinggi oleh Al dan Fe. Hara P merupakan salah satu unsur hara yang paling banyak dibutuhkan tanaman. Hara ini berfungsi untuk pertumbuhan akar, transfer energi dalam proses fotosintesis dan respirasi, perkembangan buah dan biji, kekuatan batang dan ketahanan terhadap penyakit. Serapan hara P yang cukup akan menjamin tanaman tumbuh dengan baik (Lingga, 1986; Hakim, 1986). Oleh karenanya pemupukan P pada lahan sulfat masam adalah komponen teknologi yang harus mendapat prioritas. Pengapuran untuk mengurangi kemasaman tanah dan unsur beracun dan pemupukan P untuk mengurangi kahat P diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan sulfat masam. Dalam kaitan dengan pemanfaatan fosfat alam, lahan sulfat masam memiliki nilai tambah karena dengan tingkat kemasaman yang tinggi maka kelarutan fosfat alam akan lebih cepat. Karena sebagian kandungan fosfat alam adalah CaCO3, maka pemanfaatan fosfat alam akan mampu mengurangi tingkat 64 kemasaman tanah sehingga membantu memperbaiki pertumbuhan tanaman. Fosfat alam adalah mineral apatit yang umumnya memiliki kelarutan yang rendah, sehingga ketersediaannya untuk tanaman sangat rendah. Untuk meningkatkan kelarutannya, dalam proses pembuatan pupuk P komersial seperti SSP, TSP, SP-36 dan pupuk fosfat mudah larut lainnya, fosfat alam diasamkan dengan menambahkan asam kuat seperti asam sulfat atau asam fosfat. Reaksi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut: Ca10(PO4)6CO3 + 7 H2SO4 + 3H2O 3Ca(H2PO4)2H2O + 7 CaSO4 + H2CO3 Penambahan asam dimaksudkan untuk menghancurkan mineral apatit agar fosfat membentuk ikatan yang lebih lemah sehingga mudah larut dan pada akhirnya lebih tersedia bagi tanaman. Lahan sulfat masam dalam proses pembentukannya menghasilkan asam sulfat sehingga membentuk reaksi sangat masam dalam lingkungan tanah. Oleh karenanya fosfat alam yang diberikan pada tanah sulfat masam akan mengalami peningkatan kelarutan yang sangat signifikan, sehingga dapat dikatakan lahan sulfat masam adalah “pabrik pupuk alami”. Keuntungan yang bisa diperoleh dari pemanfaatan fosfat alam pada lahan sulfat masam adalah:
 (1) harga per satuan hara pupuk lebih murah;
 (2) kelarutan dan ketersediaan hara P untuk tanaman meningkat;
(3) meningkatkan pH tanah sehingga memperbaiki lingkungan perakaran tanaman; (4) pelepasan hara P secara bertahap sehingga mengurangi jerapan oleh Al dan Fe; (5) fosfat alam mengandung hara sekunder seperti Ca dan Mg yang dibutuhkan tanaman; dan
 (6) fosfat alam meningkatkan proses granulasi sehingga tanahnya lebih mudah diolah dan tidak lengket. 65 Fosfat alam merupakan salah satu pupuk fosfat alami karena berasal dari bahan tambang, sehingga kandungan P sangat bervariasi. Efektivitas fosfat alam pada lahan sulfat masam dipengaruhi oleh kualitas fosfat alam dan tingkat kehalusan butir. Fosfat alam yang bagus mengandung fosfat alam (P2O5) lebih dari 25%. Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang karakteristik lahan sulfat masam dan pemanfaatan fosfat alam untuk meningkatkan produktivitasnya untuk tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura.


2.2.TANAH
Tanah merupakan lapisan kulit bumi yang tipis terletak di bagian paling atas permukaan bumi. Material yang tidak padat, sebagai media dan sarana produksi untuk menumbuhkan berbagai tanaman.
Tanah sangat penting peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mahklik hidup seperti Manusia, mikroorganisme, dan juga Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.
Secara umum tanah (dengan bahan induk mineral) tersusun atas 50% bahan padatan (45% bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air dan 25% udara. Sedangkan pada tanah organik (misalnya gambut), bahan padatan tersebut terdiri atas 5 % bahan organik dan 45% bahan mineral). Bahan organik dalam tanah terdiri atas mikroorganisme 10 %, akar 10% dan humat 80 %, meskipun jumlahnya sedikit namun memiliki fungsi sangat penting
Komponen Mineral Tanah Mineral tanah tersusun dari tiga komponen, yaitu: pasir (sand), debu (silt) dan lempung (clay). Ketiga komponen tersebut dibedakan berdasarkan ukurannya yang berbeda. Partikel pasir berukuran antara 200 mikrometer sampai dengan 2.000 mikrometer. Partikel debu berukuran antara 2 mikrometer sampai dengan kurang dari 200 mikrometer. Partikel lempung berukuran kurang dari 2 mikrometer.

Fungsi Tanah:
·         Produksi biomassa : tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran, sumber hara dan zat  pendukung pertumbuhan.
·         Penyaringan, penyangga dan pengubah antara atmosfer, air tanah dan akar tanaman
·         Habitat biologi dan konservasi genetic
·         Sebagai ruang infra-struktur untuk teknik, industri dan sosial ekonomi serta pembangunannnya

2.3.TANAH INCEPTISOL
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo dkk., 2004). Tanah Ultisol yaitu tanah yang memiliki kemasaman kurang dari 5,5 sesuai dengan sifat kimia, komponen kimia tanahnya yang berperan terbesar dalam menentukan sifat dan ciri tanah umumnya pada kesuburan tanah. Nilai pH yang mendekati minimun dapat ditemui sampai pada kedalaman beberapa cm dari batuan yang utuh (belum melapuk). Tanah Ultisol umumnya mempunyai nilai kejenuhan basa < 35%, karena batas ini merupakan salah satu syarat untuk klasifikasi Tanah Ultisol menurut Soil Taxonomy. Beberapa jenis Tanah Ultisol mempunyai kapasitas tukar kation < 16 cmol kg-1 liat, yaitu Ultisol yang mempunyai horizon kandik. Reaksi Tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10), kecuali Tanah Ultisol dari batu gamping yang mempunyai reaksi netral hingga agak masam (pH 6,80−6,50) ( Hermawan dkk., 2014). Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada Tanah Ultisol dari granit, sedimen, dan tufa tergolong rendah masing-masing berkisar antara 2,90−7,50 cmol kg-1 , 6,11−13,68 cmol kg-1 , dan 6,10−6,80 cmol kg-1 , 9 sedangkan yang dari bahan volkan andesitik dan batu gamping tergolong tinggi (>17 cmol kg-1 ) (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Tekstur Tanah Ultisol bervariasi dan dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Tanah Ultisol dari granit yang kaya akan mineral kuarsa umumnya mempunyai tekstur yang kasar seperti liat berpasir. Sedangkan Tanah Ultisol dari batu kapur, batuan andesit, dan tufa cenderung mempunyai tekstur yang halus seperti liat dan liat halus (Subardja, 1986). Warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahan organik yang menyebabkan warna gelap atau hitam, kandungan mineral primer fraksi ringan seperti kuarsa dan plagioklas yang memberikan warna putih keabuan, serta oksida besi seperti goethit dan hematit yang memberikan warna kecoklatan hingga merah. Makin coklat warna tanah umumnya makin tinggi kandungan goethit, dan makin merah warna tanah makin tinggi kandungan hematit (Eswaran dan Sys, 1970). Ultisol merupakan tanah masam yang telah mengalami pencucian basa-basa yang intensif dan umumnya dijumpai pada lingkungan dengan drainase baik. Kondisi tersebut sangat menunjang untuk pembentukan mineral kaolinit. Namun, dominasi kaolinit tersebut tidak mempunyai kontribusi yang nyata pada sifat kimia tanah, karena KTK kaolinit sangat rendah, berkisar 1,20−12,50 cmol kg-1 (Briendly dkk.,1986). Mineral liat lainnya yang sering dijumpai adalah haloisit dan gibsit (Subagyo dkk., 2004). 10 Tanah Ultisol memiliki kapasitas jerapan P tinggi yang dapat disebabkan oleh tingginya kandungan ion Al+3, Fe+3 , Fe-oksida, dan mineral liat. Bentuk Fe di dalam tanah antara lain disebut dengan konkresi besi. Di tanah masam seperti Tanah Ultisol keberadaan konkresi besi lebih banyak ditemukan. Konkresi besi dapat menyebabkan tingginya daya jerap tanah. Semakin banyak keberadaan konkresi besi maka semakin tinggi kekuatan tanah untuk menjerap unsur hara seperti fosfor. Sehingga menyebabkan fosfor tidak tersedia bagi tanaman.
2.4.TANAH ULTISOL
Tanah inceptisol meruapakan tanah yang sudah mulai berkekmbang. merupakan tanah muda yang sudah mulai berkembang. Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) yang perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya (Hardjowigeno,1993). Tanah yang dapat memiliki epipedon okhrik dan horison albik seperti yang dimiliki tanah entisol juga yang menpunyai beberapa sifat penciri lain ( misalnya horison kambik) tetapi belum memenuhi syarat bagi ordo tanah yang lain.
Sifat dan karakteristik :
Inceptisol mempunyai karakteristik dari kombinasi sifat –sifat tersedianya air untuk tanaman lebih dari setengah tahun atau lebih dari 3 bulan berturut –turut dalam musim – musim kemarau, satu atau lebih horison pedogenik dengan sedikit akumulasi bahan selain karbonat atau silikat amorf, tekstur lebih halus dari pasir geluhan dengan beberapa mineral lapuk dan kemampuan manahan kation fraksi lempung ke dalam tanah tidak dapat di ukur. Kisaran kadar C organik dan Kpk dalam tanah inceptisol sangat lebar dan demikian juga kejenuhan basa. Inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tempat  kecuali daerah kering mulai dari kutup sampai tropika. (Darmawijaya, 1990). Tanah in ceptisol memiliki kadar alumunium dan kadar zat besinya tinggi. Keasaman yang terkandung pada tanah ini adalah 5-7 dengan tingkat kejenuhan 72 %, oleh karena itu tanah ini memiliki tingkat keasaman sedang.
Karakteristik tanah inceptisol adalah sebagai berikut :
Ø  Memiliki solum tanah agak tebal yaitu 1-2 meter
Ø  Warnanya hitam atau kelabu sampai coklta tua
Ø  Teksturnya debu, lempung debu, bahkan lempung
Ø  Tekstur tanahnya gempur, memiliki ph 5-7
Ø  Memiliki bahan organik yang tinggi yaitu 10% - 30%
Ø  Merupakan tanah muda yang subur
Ø  Banyak mengandung mineral primer
Ø  Mengembang dari endapan tanah hasil erosi
Pemanfaatan:
Pemanfaatan yang bervariasi mulai untuk bercocok tanam hortikultura tanaman pangan, sampai dikembangkan sebagai lahan-lahan perkebunan besar seperti sawit, kakao, kopi, dan lain sebagainya, bahkan pada daerah-daerah yang eksotis, dikembangkan pula untuk agrowisata. Tanah inceptisol merupakan tanah yang masih berupa bahan induk yang belum matang, terdapat di lereng yang curam dan hutan dengan sedikit menggunakan sistem drainase agar tanah dapat diolah untuk pertanian
Sebaran:
Terbentuk dari tanah alluvial, banyak terdapat di lembah-lembah atau jalur aliran sungai atau daerah pantai,dengan vegetasi daerah sungai dan pantai,banyak dijumpai di kalimantan, papua, dan maluku, tanah ini usianya masih muda dan tarmasuk tanah mineral. Tanah yang menyebar mulai di lingkungan iklim semiarid (agak kering) sampai iklim lembap. Memiliki tingkat pelapukan dan perkembangan tanah yang tergolong sedang. Terdapat hamper di seluruh kepulauan Indonesia.












BAB III
 METODE PENELITIAN
3.1 METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 5 tingkat dosis pupuk P, ditambah perlakuan SP-36 dengan dosis 40 kg P ha-1 (P2*) . Ke lima tingkat dosis P : 0, 20, 40, 60 dan 80 kg P ha-1 dengan kode perlakuan p0, p1, p2, p3 dan p4. Selain pupuk P sebagai perlakuan setiap petak perlakuan ditambah 300 kg urea dan 200 kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Pupuk TSP dan SP-36 diberikan dengan cara ditugal bersamaan pupuk urea dan KCl pada saat tanam. Pupuk urea dan KCl diberikan 2 kali yaitu pada saat tanam dan umur 1 bulan setelah tanam, masing-masing dengan ½ dosis. Lubang pupuk dibuat dengan ditugal sejajar barisan tanaman dengan jarak + 5 cm dan kedalaman 3 – 5 cm, kemudian ditutup dengan tanah. Pupuk urea dan KCl kedua diberikan dengan cara disebar dalam larikan yang dibuat sejajar barisan tanaman dengan jarak 3-5 cm kemudian ditutup dengan tanah. Petak perlakuan berukuran 4.5 m x 5 m untuk lokasi Cibatok, Bogor dan 6 m x 5 m untuk lokasi Jagang, Lampung Utara, jarak antar perlakuan 0.5 m dan jarak antar ulangan 1.0 m. Tanaman jagung varietas Lamuru digunakan sebagai tanaman indikator, ditanam dengan jarak 75 cm x 20 cm sejumlah 2 tanaman per lubang. Setelah tanaman berumur 1 minggu dilakukan penjarangan dan ditinggalkan 1 tanaman per lubang. Jagung dipanen dua kali, setengah petakan dipanen saat buah jagung masih muda dan setengahnya dipanen saat masak fisiologis. Pengamatan dilakukan terhadap analisis contoh tanah sebelum diberi perlakuan: tekstur tanah, pH H2O dan KCl 1N, C-organik, N-total, Pengaruh pemupukan fosfat terhadap produktivitas tanah JIPI 93 P terekstrak HCl 25%, Bray-1, K HCl 25%, Ca, Mg, K, Na, KTK terekstrak NH4OAc 1N pH 7, KB, Al3+ dan H+ terekstrak KCl 1N (Balai Penelitian Tanah, 2005). Komponen pertumbuhan dan hasil tanaman : tinggi tanaman pada umur 30, 60 hari setelah tanam (hst), dan menjelang panen. Pengamatan terhadap komponen hasil yaitu bobot tongkol basah, biji jagung kering serta bobot kering tanaman. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan sidik ragam (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata menggunakan Duncan (DMRT) atau uji lainnya pada taraf 5% untuk membandingkan perbedaan antar perlakuan.

3.2 TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan pada tanah Inceptisol Cibatok, Bogor dan Ultisols Jagang, Lampung Utara, pada MK. 2004. Sumber pupuk P yang digunakan dalam penelitian ini adalah TSP Anjing Laut dan SP-36.

3.3  BAHAN DAN ALAT
1.      Pupuk P ,TSP Anjing Laut Dan SP-36
2.      Timbangan,media tanah,sekop,pacul,parang,meteran,alat tulis,timbangan,polibac.

3.4 PELAKSANAAN PENELITIAN
Sifat fisik dan kimia tanah sebelum diberi perlakuan di Cibatok, Bogor dan Jagang, Lampung Utara disajikan pada Tabel 1. Kedua lokasi bertekstur liat, dan tanah bersifat masam, serta kadar C-organik dan N-total termasuk rendah. Kadar P terekstrak HCl 25% dan Bray-1 termasuk tinggi, kadar K baik terekstrak HCl 25% maupun NH4OAc 1N pH 7 termasuk rendah. KTK tanah di Bogor termasuk sedang dan di Lampung termasuk rendah. Kejenuhan basa pada kedua lokasi di bawah 50%. Hal ini berarti tanah pada lokasi percobaan kadar ion basa lebih sedikit daripada ion yang bersifat masam. Kejenuhan Al tanah di Cibatok di bawah batas toleransi untuk pertumbuhan tanaman jagung, sedang di Lampung tepat pada batas toleransi. Batas toleransi kejenuhan Al untuk kacang hijau adalah 5%, kacang tanah 29%, kedelai 15%, kacang tunggak 55%, jagung 28% dan padi gogo 70% (Sri Adiningsih dan Kasno, 1999; Wade et al, 1988), sehingga tanpa pengapuran pertumbuhan tanaman jagung tidak terganggu. Kejenuhan basa yang rendah disebabkan oleh pengaruh curah hujan yang tinggi, sehingga basabasa tercuci dan kation masam yang lebih banyak. Kation yang bersifat masam menyebabkan hara Sifat Tanah Inceptisols, Ultisols, Cibatok Jagang dan Jagang, Lampung Utara, MK. 2004 lain menjadi tidak tersedia oleh tanaman. KTK tanah juga rendah, hal ini menyebabkan hara yang ditambahkan ke dalam tanah mudah hilang tercuci. Kadar C-organik yang rendah dapat disebabkan oleh pengelolaan yang kurang tepat, misalnya penambahan bahan organik in situ tidak pernah dilakukan, pada tanah yang miring tidak diterapkan konservasi lahan. Kadar C-organik yang rendah menyebabkan tanah tidak dapat menyimpan air, KTK tanah rendah atau dengan kata lain hara yang ditambahkan tidak dapat diikat oleh tanah atau bahan organik sehingga mudah tercuci. Dari kedua tanah tersebut, tanah dari dari Inceptisols Cibatok lebih subur dibandingkan Ultisols Jagang.

3.5 ANALISIS DATA
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), diulang 3 kali. Perlakuan terdiri atas 5 tingkat dosis pupuk P, ditambah perlakuan SP-36 dengan dosis 40 kg P ha-1 (P2*) . Ke lima tingkat dosis P : 0, 20, 40, 60 dan 80 kg Pha-1 dengan kode perlakuan p0, p1, p2, p3 dan p4. Selain pupuk P sebagai perlakuan setiap petak perlakuan ditambah 300 kg urea dan 200 kg KCl ha-1 sebagai pupuk dasar. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan digunakan sidik ragam (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata menggunakan Duncan (DMRT) atau uji lainnya pada taraf 5% untuk membandingkan perbedaan antar perlakuan.



DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah, 2005. Analisis kimia Tanah,tanaman, air, dan pupuk. Petunjuk Teknis. p.136.

Dierolf, T., Thomas Fairhurst, dan Ernst Mutert. 2001. Soil Fertility Kit: a toolkit for acid,upland soil fertility management in Southeast Asia. P. 149. PPI, PT Jasa Katom, ProRLK,GTZ GmbH, dan Kalimantan Upland Farming (KUF). Hartono, A., P.L.G. Vlek, A. Moaward and A. Rachim. 2000.

Changes in phosphorus fractions on an acidic soil induced by phosphorus fertilizers, organic matter and lime. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan.3(2): 1-7.

Havlin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers An Introduction to Nutrient Management. 6th ed. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. pp. 497.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk Pertanian. hlm. 1-34. Buku Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produksi Pertanian Berkelanjutan. Mappaona et al. (eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Mutert, E. W. and J. Sri Adiningsih. 1996. Tropical upland improvement: comparative performance of different phosphorus source. p. 97-108. In Nutrient Management for Sustainable Crop Production in Asia. Proc. Of an International Conference held in Bali, Indonesia, 9-12 December 1996.

Santoso, D. 1996. Development of phosphorus fertilizer use on acid soils in Indonesia. p. 75- 84. In Nutrient Management for Sustainable Crop Production in Asia. Proc. Of an International Conference held in Bali, Indonesia, 9-12 December 1996, .

Sri Adiningsih and Kasno. 1999. Increasing the productivity of marginal upland for agricultural development in Indonesia. Paper presented at the International Symposium on Management Technologies for The Improvement of Problem Soils; Queson City, Philippines: 3-5 August, 1999.

Sutriadi, M.T., R. Hidayat, S. Rochayati, dan D. Setyorini. 2005. Ameliorasi lahan dengan fosfat alam untuk perbaikan kesuburan Tanah kering masam Typic Hapludox di Kalimatan Selatan. hlm. 143 – 155. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumber Daya Tanah dan Iklim. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor, 14-15 September 2004,

Wade, M. K., Dan W. Gill, H. Subagj, M. Sudjadiand Pedro A. Sanchez. 1988. Overcoming soil fertility constraints in a Transmigration area of Indonesia. Neil Caudle (ed). TropSoils Bulletin No. 88-01. The Soil Management Collaborative Research SupportProgram, North Carolina State University